Jika kamu merasa sebagai generasi penerus bangsa, bacalah ini.
Masih terngiang kata-kata
dosen keuangan publik tadi. Negara kita, Indonesia, memang memiliki
masalah yang kompleks, apalagi dalam masalah perekonomiannya.
Kurasa, statement
itu ada benarnya. Coba kita perhatikan, ke arah mana sih
kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan pemerintah saat ini?
Seberapa besar efektifitas dan efisiensinya dalam mempertahankan
dan/atau meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonomi di negara kita?
Seberapa besar juga efeknya pada tingkat kesejahteraan masyarakat
kita saat ini?
Well, kurasa
kebijakan pemerintah akhir-akhir ini boleh dibilang sukses
meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negara kita, kekuatan Rupiah pun
berhasil meningkat bukan? Dari sisi makroekonomi, YA, kurasa negara
kita memang TUMBUH.
Tapi, cobalah lihat,
dalam kegembiraan kita karena kekuatan rupiah kita mengalami
peningkatan yang cukup signifikan, apakah di negeri yang kita
tinggali ini, yang kata orang “harusnya” merupakan negeri terkaya
di dunia karena sumber daya yang dimilikinya, apakah kesejahteraan
masyarakat di negeri kita ini sudah cukup merata? Yakinkah kalian
pemerataannya sudah baik? Jika memang iya, memangnya berapa persen
orang Indonesia yang kalian katakan sejahtera itu?
Negeri yang kita tinggali
saat ini, memang penuh dengan ketimpangan, saudaraku. Coba ingatlah,
ketika masyarakat melakukan demo menuntut kenaikan upah sesuai
standar yang layak. Kebijakan yang pemerintah lakukan selain menuruti
kenaikan upah itu, pastilah dengan menekan harga pangan yang beredar
di pasaran. Kalian pasti tahu kan apa sebabnya? Karena, ketika harga
pangan naik, maka banyak harga barang-barang lain pun pasti ikut
naik, bahkan meskipun itu bukan barang pangan. Mengapa ini terjadi?
Oh, kalian tentu mengetahuinya bukan, saudaraku? Ketika harga pangan
naik, masyarakat pasti akan memutar otak mereka, bagaimana cara agar
tetap bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, minimal kebutuhan
sehari-hari mereka alias bahan pangan. Pedagang, dan pengusaha pun
akan menaikkan harga barang yang mereka jual, mengingat harga barang
bahan produksi juga pasti naik karena terpengaruh kenaikan harga
pangan.
Oke, lupakan sejenak
euforia menaikkan harga karena harga bahan pangan naik. Coba
bayangkan kalian melihat sawah-sawah petani kita yang hijau, subur,
dan begitu menyenangkan untuk dilihat ketika padi yang mereka tanam
mulai menguning, pertanda siap dipanen.
Sudah kalian bayangkan?
Sekarang, bayangkan penampilan petani itu, bayangkan juga rumah yang
ia miliki, bayangkan buruh tani yang ia pekerjakan, juga rumah buruh
tani yang dipekerjakan itu. Sudahkah? Apa yang terbersit di bayangan
pikiran kalian saudaraku? Jika di pikiran kalian terbayang rumah tua
berdinding kayu dan bambu yang sudah rapuh termakan usia, maka kalian
sepikiran denganku, saudaraku.
Itulah ketimpangan yang
terjadi di negeri kita akhir-akhir ini. Bagaimana bisa, seorang
petani, yang memiliki lahan, memiliki hasil panen, yang harusnya
selalu ikut kaya saat harga pangan naik, tetapi hanya memiliki rumah
tua berdinding kayu dan bambu yang sudah rapuh termakan usia?
Bagaimana bisa?
Negeri kita memang negeri
agraris, negara maritim, dan apalah sebutan lain negara kita. Tetapi,
apakah sebutan itu masih pantas melekat di negara kita? Disaat negeri
yang kita sebut negeri agraris ini petaninya masih banyak yang berada
di garis kemiskinan, disaat negara ini kita sebut negara maritim,
banyak ikan-ikan kita yang dicuri, dan kekuatan polisi dan militer
kita tak mampu menghentikan pencurian itu.
Jawaban atas ketimpangan
yang terjadi di negeri kita itu, salah satunya, menurutku berada pada
kebijakan yang telah pemerintah lakukan. Apa yang terjadi ketika
petani mengalami gagal panen? Apa yang pemerintah kita lakukan
saudaraku? Kebijakan pertama yang dilakukan pastilah melakukan impor
sampai kebutuhan pangan dalam negeri kita tercukupi. Lalu, ketika
kebutuhan akan pangan telah terpenuhi, adakah langkah lebih lanjut
yang pemerintah lakukan? Jika kalian tanyakan itu padaku, jujur saja,
aku tak tahu, saudaraku, tapi yang jelas, setelah kejadian-kejadian
seperti itu, petani masih tetap dalam garis kesejahteraan yang sama.
Jadi, apa yang bisa kita
banggakan dari statement “negara Indonesia adalah negara agraris”
kalo buat mencukupi bahan pangan dalam negeri aja kekurangan, bahkan
dengan sawah yang sebegitu luasnya di negara kita, negara ini masih
impor beras. Coba bayangkan saudaraku, posisikan diri kalian di
posisi para petani. Dengan kondisi seperti ini, apa mungkin kemudian
petani mau bilang pada anak-anak mereka : “Nak, ketika kau besar
nanti, jadilah petani seperti ayah dan/atau ibumu nak”. Bagaimana
menurut kalian? Adakah? Kalau sudah begitu, terus siapa nanti yang
mau nerusin cita-cita luhur sebagai petani kalo ga bakal ada lagi
petani yang mau ngomong seperti itu ke anak-anak mereka?
Kehidupan di negara kita
ini memang rumit, saudaraku. Masih banyak ketimpangan-ketimpangan
yang membuat negeri ini terpuruk. Tetapi, makin langka orang-orang
yang mau memperbaiki kerusakan-kerusakan yang ada di negeri ini.
Karena itu, maukah kalian, generasi penerus bangsa Indonesia,
melakukan semua hal yang terbaik untuk negeri kita tercinta ini?
Bukan teriakan-teriakan
“kami benci pemerintah !”, “Pemerintah tidak pro rakyat, tidak
pernah peduli rakyat!” , dan lain sebagainya yang harus keluar
dari diri kita. Semua itu percuma, saudaraku. Tak perlu kita lakukan
demo sampai rusuh hingga menewaskan pemuda-pemudi harapan bangsa
dengan sia-sia. Apa yang negeri ini lebih butuhkan adalah ACTION
saudara-saudaraku.
Melakukan hal yang
terbaik bagi negeri ini sesuai dengan bidang keahlian kita
masing-masing akan lebih baik dan lebih membuahkan hasil daripada
sekedar aksi demo yang seringkali tidak menghasilkan apa-apa
saudaraku. Jadi, ayo, kita mulai memperbaiki negeri ini berdasarkan
keahlian yang masing-masing telah kita miliki.
1 comments:
cuma satu kata, "setuju"
Post a Comment