Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN).
Apa sih yang terlintas di benak kalian saat kalian mendengar kata-kata STAN?
Sekolah Tinggi Kedinasan favoritkah?
Kuliah dengan gratiskah?
Mengurangi beban orangtuakah?
Mengangkat derajat dan taraf hidup keluargakah?
atau mungkin........
ini yang terlintas di benak kalian?
Uang banyak kerja sedikit
Sekolahnya orang-orang semacam Gayus Tambunan
Sekolahnya orang-orang pinter yang pinter korupsi
Manakah yang terlintas di benak kalian kawan-kawan?
Aku tak akan menyalahkan kalian apapun jawaban kalian atas pertanyaan itu. Aku hanya ingin mengingatkan kalian, apapun yang kalian jawab, tetaplah ingat akan prinsip Don't judge the book by it's cover. Janganlah kalian menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, tapi nilailah seluruh aspek dari buku itu, sehingga apa yang kalian dapatkan darinya pun adalah seluruhnya, bukan apa yang kalian lihat dari luarnya saja.
Kasus Gayus Tambunan, salah satu pegawai dirjen pajak yang terlibat kasus korupsi itu memang telah mencoreng nama baik kementrian keuangan, dirjen pajak, dan bahkan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, almamaternya. Bahkan, mantan Mendiknas, Pak Bambang Sudibyo pun sempat dengan kasarnya berkata "STAN yang selama ini menjadi satu-satunya lembaga pendidikan yang mencetak SDM perpajakan harus dihentikan. Hal itu untuk memutus perembetan budaya korupsi".
Sungguh suatu statement yang sangat menyakitkan bagiku dan kami, mahasiswa stan, juga alumni. Kami mahasiswa-mahasiswi STAN, yang berasal dari berbagai daerah dengan latar belakang keluarga, ekonomi, dan pendidikan yang berbeda-beda ini dicap sebagai calon-calon koruptor, penerus Gayus.
Teman-temanku semua, beberapa hal yang perlu kalian tau dan pahami adalah, kami, mahasiswa STAN, tidak pernah diajarkan untuk korupsi, tidak satupun dari dosen kami yang pernah mengajarkan bagaimana cara korupsi yang aman dan nyaman. Tidak ada niat kami kuliah di STAN untuk menjadi koruptor. Tidak pernah terbersit sedikitpun dalam benak orang tua kami mengantarkan kami ke STAN untuk menjadi koruptor. Dan tidak pernah sekalipun dalam doa orang tua kami dalam ibadahnya untuk berdoa kepada Tuhan, “Ya Tuhan, jadikanlah anak kami sebagai koruptor, dan biarkanlah dia hidup nyaman dari uang haram…” Kata-kata dari Pak Bambang Sudibyo sebagai mantan pemimpin yang mulia dalam dunia pendidikan di negeri ini, telah menjadi pisau yang menyayat hati kami, alumni, dosen dan juga orang tua kami yang telah bersusah payah berdoa dan berusaha setiap hari membanting tulang agar kami bisa lulus dan menjadi orang yang berguna bagi Bangsa ini.
Aku rasa, pernyataan Bapak Bambang Sudibyo itu terlontar tanpa mengira-ngira dulu bagaimana bila ia berada di posisi kami sebagai mahasiswa STAN.
Teman-teman bloggerku sekalian, apakah yang akan Anda rasakan ketika Anda telah berusaha keras menyisihkan beratus ribu pesaing dan Anda berhasil? Senang bukan?
Namun, bagaimana jika setelahnya Anda merasakan susahnya kuliah seperti kami, meluangkan waktu 3 tahun dalam hidup Anda untuk berjuang melewati jeratan ketakutan akan DO hingga lulus nanti?
Dapatkah Anda mengerti perasaan kami saat kami menandatangani surat pernyataan kesanggupan untuk ditempatkan dimana saja?
Disaat surat itu kami tandatangani, tak ada hal lain yang bisa kami lakukan kecuali belajar dan belajar, berharap agar hasil pendidikan kami disini memberikan manfaat sehingga kami mendapat penempatan yang layak. Aku rasa Bapak Bambang Sudibyo tak pernah memikirkan bahkan menganggap, bahwa saat kami bekerja nanti kami memikul beban tanggung jawab pengelolaan keuangan negara yang amat berat.
Teman-temanku sekalian, juga Bapak Bambang Sudibyo, ketika Anda memikirkan itu semua, ketika terlintas di benak Anda tentang STAN dan yang terbersit di pikiran Anda adalah sekolah calon koruptor, Dimana hati nurani Anda?
Lihatlah asa dan harapan seratus ribu lebih putra-putri generasi muda Indonesia berjuang memperebutkan kesempatan belajar di STAN. Apakah mereka mendaftar STAN hanya untuk menjadi calon koruptor?
Bapak Bambang Sudibyo, beliau adalah seorang mantan menteri pendidikan, beliau lebih berkapasitas dalam mempelajari psikologi pendidikan. Namun, tahukah beliau ketika beliau mengecap STAN sebagai kampus pelopor budaya korupsi, beliau telah menyakiti hati seratus ribu lebih siswa-siswi lulusan SMA, SMK, dan Sekolah Menengah lain yang setingkat yang ingin mendaftar USM STAN karena secara tak langsung beliau menuduh mereka ingin menjadi penerus “perembet budaya korupsi”.
Bapak Bambang Sudibyo, juga teman-teman bloggerku sekalian, coba lihatlah, kami disini setiap semester berjuang keras agar lolos dari jeratan DO sehingga kami tidak keluar sebagai pecundang dari STAN karena kami di DO. Dan lihatlah ketika orang tua kami bangga karena berhasil mengantar kami hingga diwisuda di STAN namun hati kami bisa jadi sama sekali tidak tenang karena menunggu akan kemana SK penempatan membawa diri ini berada. Siapa lagi kalau bukan kami, mahasiswa STAN, yang konsisten siap ditempatkan dimana saja di seluruh Indonesia? Apakah teman kami, sahabat kami, di PTN sana akan mau ditempatkan di Pulau Sabang, Mentawai, Nias, Sangir Talaud, Biak, Wasior dan daerah lain yang “Google Maps” saja sulit menemukan lokasinya?
Oiya, Bapak Bambang Sudibyo juga pernah mengatakan : “STAN yang selama ini menjadi satu-satunya lembaga pendidikan pemasok SDM perpajakan”. Perlu kita ketahui, saat ini kementerian Keuangan tidak hanya merekrut SDM perpajakan dari STAN saja, tetapi juga melalui penyaringan CPNS Kementerian Keuangan. Lalu apakah jika ada pegawai pajak yang terlibat korupsi, hanya STAN yang harus disalahkan??
Teman-temanku sekalian, kami memilih kuliah di STAN bukan karena kami ingin berkorupsi, bukan karena kami tidak mampu kuliah di PTN terkenal di bawah naungan Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional seperti UI, UGM, ITB, UNPAD, UNAIR, UNDIP dan PTN lainnya. Kebanyakan memang kami adalah mahasiswa yang berasal dari keluarga ekonomi pas-pasan, yang tidak mampu melanjutkan kuliah ke PTN favorit, entah karena ketiadaan dana atau biaya pendidikan di PTN yang sangat tinggi. Lalu buat apakah teman-teman kami di STAN, yang sudah kuliah 2, 3 dan 4 semester di perguruan tinggi namun ketika mereka diterima kuliah di STAN mereka tinggalkan studi mereka di PT? Apakah mereka resah karena takut tidak dapat pekerjaan setelah lulus dari Perguruan Tinggi nanti? Buat apa seorang mahasiswa semester 5 Fakultas Kedokteran meninggalkan studinya yang tinggal 2 semester lagi hanya untuk STAN? Buat apa seorang mahasiswa UI, ITB, UNDIP, UNPAD, UNAIR, UGM banyak yang lebih memilih STAN sebagai tempatnya menimba ilmu dibanding di Perguruan Tinggi Negeri yang sudah terjamin nama besarnya. Apakah mereka semua ingin melanjutkan budaya korupsi? Ataukah karena keresahan miss match yang terjadi di dunia pendidikan dewasa ini? Kita lihat saja banyak Sarjana Hukum yang menjadi Sales, banyak Sarjana Pertanian yang bekerja di Kementerian PU, apakah pantas STAN dicap sebagai “Perembet budaya korupsi” sedangkan STAN ikut membantu dunia pendidikan di Indonesia untuk menciptakan konsep link and match dunia pendidikan.
Apakah kami semua mahasiswa STAN hanya ingin menikmati kuliah gratis di STAN dan menikmati jaminan pekerjaan yang nyaman sebagai PNS di lingkungan Kementerian Keuangan? Teman-teman sekalian, apalagi Bapak Bambang Sudibyo sebagai seorang mantan menteri sudah tahu pastinya berapa besaran nominal pendapatan bulanan seorang PNS Kementerian Keuangan dari STAN. Jika kami mau, kami bisa memilih jalan lain selain kuliah di STAN dan bekerja sebagai pegawai swasta dengan jenjang pendapatan yang bisa berkali-kali lipat daripada pendapatan seorang PNS biasa. Kami tidak ingin menyombongkan diri kami, banyak teman-teman kami yang memiliki kemampuan yang tidak kalah diadu dengan mahasiswa lain, tentunya masa depan mereka juga tak kalah cerah jika mereka mengambil jalan lain. Kami adalah mahasiswa terpilih, yang telah menyisihkan berpuluh-puluh ribu saingan kami demi menjadi bagian dari almamater STAN. Sebegitu hinakah kami jika kami berlomba-lomba untuk menjadi mahasiswa STAN hanya untuk menjadi KORUPTOR? Kami, mahasiswa STAN, berada di kampus perjuangan STAN ini untuk mengabdi pada negara, bukan untuk menjadi koruptor!
Jadi, teman-temanku sekalian, juga Bapak Bambang Sudibyo, marilah kita bersama-sama membangun negeri ini bukan dengan perkataan, tetapi dengan belajar, berkarya dan bekerja. Selamanya perkataan hanya akan hidup dalam pikiran selama kita tidak bangun untuk merealisasikannya!
Mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan dalam tulisan ini. Aku mohon maaf sebesar-besarnya, tulisan ini hanyalah sebuah ungkapan dari hati yang tersakiti sebagai mahasiswa STAN…
Apa sih yang terlintas di benak kalian saat kalian mendengar kata-kata STAN?
Sekolah Tinggi Kedinasan favoritkah?
Kuliah dengan gratiskah?
Mengurangi beban orangtuakah?
Mengangkat derajat dan taraf hidup keluargakah?
atau mungkin........
ini yang terlintas di benak kalian?
Uang banyak kerja sedikit
Sekolahnya orang-orang semacam Gayus Tambunan
Sekolahnya orang-orang pinter yang pinter korupsi
Manakah yang terlintas di benak kalian kawan-kawan?
Aku tak akan menyalahkan kalian apapun jawaban kalian atas pertanyaan itu. Aku hanya ingin mengingatkan kalian, apapun yang kalian jawab, tetaplah ingat akan prinsip Don't judge the book by it's cover. Janganlah kalian menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, tapi nilailah seluruh aspek dari buku itu, sehingga apa yang kalian dapatkan darinya pun adalah seluruhnya, bukan apa yang kalian lihat dari luarnya saja.
Kasus Gayus Tambunan, salah satu pegawai dirjen pajak yang terlibat kasus korupsi itu memang telah mencoreng nama baik kementrian keuangan, dirjen pajak, dan bahkan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, almamaternya. Bahkan, mantan Mendiknas, Pak Bambang Sudibyo pun sempat dengan kasarnya berkata "STAN yang selama ini menjadi satu-satunya lembaga pendidikan yang mencetak SDM perpajakan harus dihentikan. Hal itu untuk memutus perembetan budaya korupsi".
Sungguh suatu statement yang sangat menyakitkan bagiku dan kami, mahasiswa stan, juga alumni. Kami mahasiswa-mahasiswi STAN, yang berasal dari berbagai daerah dengan latar belakang keluarga, ekonomi, dan pendidikan yang berbeda-beda ini dicap sebagai calon-calon koruptor, penerus Gayus.
Teman-temanku semua, beberapa hal yang perlu kalian tau dan pahami adalah, kami, mahasiswa STAN, tidak pernah diajarkan untuk korupsi, tidak satupun dari dosen kami yang pernah mengajarkan bagaimana cara korupsi yang aman dan nyaman. Tidak ada niat kami kuliah di STAN untuk menjadi koruptor. Tidak pernah terbersit sedikitpun dalam benak orang tua kami mengantarkan kami ke STAN untuk menjadi koruptor. Dan tidak pernah sekalipun dalam doa orang tua kami dalam ibadahnya untuk berdoa kepada Tuhan, “Ya Tuhan, jadikanlah anak kami sebagai koruptor, dan biarkanlah dia hidup nyaman dari uang haram…” Kata-kata dari Pak Bambang Sudibyo sebagai mantan pemimpin yang mulia dalam dunia pendidikan di negeri ini, telah menjadi pisau yang menyayat hati kami, alumni, dosen dan juga orang tua kami yang telah bersusah payah berdoa dan berusaha setiap hari membanting tulang agar kami bisa lulus dan menjadi orang yang berguna bagi Bangsa ini.
Aku rasa, pernyataan Bapak Bambang Sudibyo itu terlontar tanpa mengira-ngira dulu bagaimana bila ia berada di posisi kami sebagai mahasiswa STAN.
Teman-teman bloggerku sekalian, apakah yang akan Anda rasakan ketika Anda telah berusaha keras menyisihkan beratus ribu pesaing dan Anda berhasil? Senang bukan?
Namun, bagaimana jika setelahnya Anda merasakan susahnya kuliah seperti kami, meluangkan waktu 3 tahun dalam hidup Anda untuk berjuang melewati jeratan ketakutan akan DO hingga lulus nanti?
Dapatkah Anda mengerti perasaan kami saat kami menandatangani surat pernyataan kesanggupan untuk ditempatkan dimana saja?
Disaat surat itu kami tandatangani, tak ada hal lain yang bisa kami lakukan kecuali belajar dan belajar, berharap agar hasil pendidikan kami disini memberikan manfaat sehingga kami mendapat penempatan yang layak. Aku rasa Bapak Bambang Sudibyo tak pernah memikirkan bahkan menganggap, bahwa saat kami bekerja nanti kami memikul beban tanggung jawab pengelolaan keuangan negara yang amat berat.
Teman-temanku sekalian, juga Bapak Bambang Sudibyo, ketika Anda memikirkan itu semua, ketika terlintas di benak Anda tentang STAN dan yang terbersit di pikiran Anda adalah sekolah calon koruptor, Dimana hati nurani Anda?
Lihatlah asa dan harapan seratus ribu lebih putra-putri generasi muda Indonesia berjuang memperebutkan kesempatan belajar di STAN. Apakah mereka mendaftar STAN hanya untuk menjadi calon koruptor?
Bapak Bambang Sudibyo, beliau adalah seorang mantan menteri pendidikan, beliau lebih berkapasitas dalam mempelajari psikologi pendidikan. Namun, tahukah beliau ketika beliau mengecap STAN sebagai kampus pelopor budaya korupsi, beliau telah menyakiti hati seratus ribu lebih siswa-siswi lulusan SMA, SMK, dan Sekolah Menengah lain yang setingkat yang ingin mendaftar USM STAN karena secara tak langsung beliau menuduh mereka ingin menjadi penerus “perembet budaya korupsi”.
Bapak Bambang Sudibyo, juga teman-teman bloggerku sekalian, coba lihatlah, kami disini setiap semester berjuang keras agar lolos dari jeratan DO sehingga kami tidak keluar sebagai pecundang dari STAN karena kami di DO. Dan lihatlah ketika orang tua kami bangga karena berhasil mengantar kami hingga diwisuda di STAN namun hati kami bisa jadi sama sekali tidak tenang karena menunggu akan kemana SK penempatan membawa diri ini berada. Siapa lagi kalau bukan kami, mahasiswa STAN, yang konsisten siap ditempatkan dimana saja di seluruh Indonesia? Apakah teman kami, sahabat kami, di PTN sana akan mau ditempatkan di Pulau Sabang, Mentawai, Nias, Sangir Talaud, Biak, Wasior dan daerah lain yang “Google Maps” saja sulit menemukan lokasinya?
Oiya, Bapak Bambang Sudibyo juga pernah mengatakan : “STAN yang selama ini menjadi satu-satunya lembaga pendidikan pemasok SDM perpajakan”. Perlu kita ketahui, saat ini kementerian Keuangan tidak hanya merekrut SDM perpajakan dari STAN saja, tetapi juga melalui penyaringan CPNS Kementerian Keuangan. Lalu apakah jika ada pegawai pajak yang terlibat korupsi, hanya STAN yang harus disalahkan??
Teman-temanku sekalian, kami memilih kuliah di STAN bukan karena kami ingin berkorupsi, bukan karena kami tidak mampu kuliah di PTN terkenal di bawah naungan Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional seperti UI, UGM, ITB, UNPAD, UNAIR, UNDIP dan PTN lainnya. Kebanyakan memang kami adalah mahasiswa yang berasal dari keluarga ekonomi pas-pasan, yang tidak mampu melanjutkan kuliah ke PTN favorit, entah karena ketiadaan dana atau biaya pendidikan di PTN yang sangat tinggi. Lalu buat apakah teman-teman kami di STAN, yang sudah kuliah 2, 3 dan 4 semester di perguruan tinggi namun ketika mereka diterima kuliah di STAN mereka tinggalkan studi mereka di PT? Apakah mereka resah karena takut tidak dapat pekerjaan setelah lulus dari Perguruan Tinggi nanti? Buat apa seorang mahasiswa semester 5 Fakultas Kedokteran meninggalkan studinya yang tinggal 2 semester lagi hanya untuk STAN? Buat apa seorang mahasiswa UI, ITB, UNDIP, UNPAD, UNAIR, UGM banyak yang lebih memilih STAN sebagai tempatnya menimba ilmu dibanding di Perguruan Tinggi Negeri yang sudah terjamin nama besarnya. Apakah mereka semua ingin melanjutkan budaya korupsi? Ataukah karena keresahan miss match yang terjadi di dunia pendidikan dewasa ini? Kita lihat saja banyak Sarjana Hukum yang menjadi Sales, banyak Sarjana Pertanian yang bekerja di Kementerian PU, apakah pantas STAN dicap sebagai “Perembet budaya korupsi” sedangkan STAN ikut membantu dunia pendidikan di Indonesia untuk menciptakan konsep link and match dunia pendidikan.
Apakah kami semua mahasiswa STAN hanya ingin menikmati kuliah gratis di STAN dan menikmati jaminan pekerjaan yang nyaman sebagai PNS di lingkungan Kementerian Keuangan? Teman-teman sekalian, apalagi Bapak Bambang Sudibyo sebagai seorang mantan menteri sudah tahu pastinya berapa besaran nominal pendapatan bulanan seorang PNS Kementerian Keuangan dari STAN. Jika kami mau, kami bisa memilih jalan lain selain kuliah di STAN dan bekerja sebagai pegawai swasta dengan jenjang pendapatan yang bisa berkali-kali lipat daripada pendapatan seorang PNS biasa. Kami tidak ingin menyombongkan diri kami, banyak teman-teman kami yang memiliki kemampuan yang tidak kalah diadu dengan mahasiswa lain, tentunya masa depan mereka juga tak kalah cerah jika mereka mengambil jalan lain. Kami adalah mahasiswa terpilih, yang telah menyisihkan berpuluh-puluh ribu saingan kami demi menjadi bagian dari almamater STAN. Sebegitu hinakah kami jika kami berlomba-lomba untuk menjadi mahasiswa STAN hanya untuk menjadi KORUPTOR? Kami, mahasiswa STAN, berada di kampus perjuangan STAN ini untuk mengabdi pada negara, bukan untuk menjadi koruptor!
Jadi, teman-temanku sekalian, juga Bapak Bambang Sudibyo, marilah kita bersama-sama membangun negeri ini bukan dengan perkataan, tetapi dengan belajar, berkarya dan bekerja. Selamanya perkataan hanya akan hidup dalam pikiran selama kita tidak bangun untuk merealisasikannya!
Mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan dalam tulisan ini. Aku mohon maaf sebesar-besarnya, tulisan ini hanyalah sebuah ungkapan dari hati yang tersakiti sebagai mahasiswa STAN…
0 comments:
Post a Comment